Selasa, 10 Mei 2011

Indie

Seperti diketahui, Indie memang berasal dari kata Independent. Hal ini bermula dari tabiat anak-anak muda Inggris yang suka memotong kata agar mempermudah pelafalan informal seperti juga; distribution menjadi distro, british menjadi brit, dsb. Namun kecendrungan awam dalam memahami Indie membuat banyak orang memperdebatkan arti atau makna independen tersebut. Status artis/band atau minor label yang tidak dikuasai/dikendalikan major label seringkali dianggap sebagai indie. Sedangkan dilain pihak berpendapat, bahwa independen dalam konteks indie adalah sebagai subkultur dan genre musik. Akan tetapi kita tidak bisa menghakimi siapa yang paling benar dalam memaknai Indie tersebut.





Sejarahnya dimulai sejak awal abad 20 dengan kemunculan minor label seperti Vocalion atau Black Patti yang kala itu berupaya mengikis dominasi major label semacam Victor, Edison, dsb. Walaupun independensi pada pola dan jaman itu tidak menjalin akar dengan pengertian bahwa independen dalam konteks indie adalah sebagai subkultur dan genre musik, mereka bertendensi serupa sebagai antitesis mainstream dengan merilis musik kaum minoritas seperti blues, bluegrass, dsb. Tapi saat itu yang terjadi sekadar rivalitas antara kapital kecil melawan kapital besar dan pergerakannya tidak bersifat integral. Lalu di era 50-an mulai berkembang wacana independen untuk memerdekakan kreativitas dari intervensi kepentingan industri. Kendati demikian, kondisi yang tercipta tidak menghasilkan karakter signifikan. Bipolarisasi terhadap arus utama belum terwujud. Mereka memang berproduksi secara minor tapi iramanya masih mengacu ke pola major label juga. Walaupun bermotif kebebasan berekspresi, mereka hanya independen secara kapital dari major label namun orientasi musiknya tetap setipe major label.


Seiring dengan perkembangannya, di Indonesia istilah indie mengalami perluasan makna akibat eksploitasi media massa yang menjadikannya rancu. Secara general, definisi indie cenderung dipublikasikan sebagai pola kerja mandiri semata. Independen secara minor label atau self-released tidak menjamin artis/label itu berkarakter indie. Esensi indie bukan sekadar kemandiriannya saja, namun lebih kepada Roots-Character-Attitude (RCA) yang bertumpu pada resistensi terhadap mainstream. Sebagai contoh, The Smiths dan New Order dirilis oleh Warner Music namun reputasinya masih diakui sebagai band indie karena RCA mereka adalah indie. Bahkan secara internasional indie diakui sebagai genre. Itu artinya, ada sebuah konsensus global yang memahami indie dalam spesifikasi musik tertentu.Lalu bagaimana menentukan band itu indie atau bukan? Bagaimana bila sebuah band beridealisme mainstream tapi mereka berproduksi secara swadaya? Seseorang yang berjiwa mainstream pun bisa saja menghasilkan karya berkarakter mainstream tapi dikemas secara Do-It-Yourself dengan dalih kebebasan ekspresi atau budget minim.Dan itu bukanlah Indie.


Dalam hal pendistribusian rekaman indie, para scenester (aktivis musik) indie membangun jalur distribusi di luar sistem mainstream yang kemudian dikenal sebagai distro. Disinilah keistimewaan indie terletak pada jaringan kerjanya. Indie tanpa networking akan menjadi benteng tanpa prajurit. Dalam relasinya indie cenderung lebih mengedepankan unsur humanis. Dukungan mutualisme semacam ini sebenarnya adalah warisan dari 3 dekade silam ketika indie label yang lebih besar memberi dukungan kepada indie label yang lebih kecil untuk berkembang lebih pesat tanpa mengawatirkan rivalitas pasar. Indie bergerak kepada orientasi pendengar yang segmentatif. Kalaupun akhirnya mendapat respon luas, itu dianggap senagai bonus saja. Faktor penentunya adalah sikap artis/band indie tersebut ketika mulai dikenal secara luas. Mereka harus lebih bijak dalam menjaga pakem agar karakternya tidak terseret menjadi pasaran atau kacangan.


Singkatnya, Indie adalah etos cutting edge, avant garde atau budaya kreatif yang menjadi alternatif dari pola-pola musik pada umumnya.


Readmore “Indie”  »»

10 Alasan Mengapa Banyak Band Gagal

Seringkali sebagai anak baru dalam dunia nge-Band kita tidak memikirkan akan kelangsungan Band itu sendiri. Bahkan ketika main pun hanya asal-asalan saja, “hajar bleh“. Tapi ketika band mu mentok, baru kita akan menyadari dan saling menyalahkan.

Si – A bilang, “si anu sih, gak disiplin”.

Si – B bilang, “kamu sih mainnya gak bener”. dst…

Lalu bukannya penyelesaian yang didapatkan tapi justru berantem dan bubar. Apakah ini juga terjadi pada band kalian??




Saya dulu juga sering mengalami hal seperti ini, keluar-masuk band sampai bikin band sendiri dan tetap saja ujung-ujungnya “bubar“. Tetapi semua itu malah tidak membuat kapok, justru saya semakin bersemangat. Hingga akhirnya rasa penasaran itu terjawab sedikit demi sedikit dalam pencarian panjang saya.

Bermula ketika ada seorang teman menawarkan kepada saya untuk menjadi manajer band nya. Karena memang kebetulan band itu ingin mengikuti audisi band yang diselenggarakan oleh salah satu produsen rokok besar di Indonesia. Dan salah satu syaratnya adalah harus memiliki manajer sendiri. Sebagai band yang belum punya nama pastilah sulit untuk mencari manajer band profesional. Akhirnya untuk menyingkat waktu, mereka memilih saya sebagai manajer band.

Disinilah saya mulai memiliki pikiran jauh tentang band. Kelak kalau ingin bikin band yang solid saya harus belajar mengelolanya terlebih dahulu. Saya harus tahu bagaimana menata sebuah band agar bisa berkembang. Jadi bisa dibilang band ini adalah Lab buat saya sebelum nantinya membentuk band sendiri yang solid.

Tentu saja impian saya untuk ikut membesarkan band ini gagal juga. Pengalaman pertama sekaligus masih awam dalam dunia manajerial band adalah faktor utamanya. Tetapi kegagalan itulah yang mendorong saya semakin kuat untuk terus mempelajarinya.

Hingga suatu waktu ketika mengantarkan istri ke sebuah Book Store, saya menemukan sebuah tulisan dari Jeffrey A. Macak (President, JMI Publications, USA) yang terjemahan oleh Wenzrawk. Kurang lebih tulisan itu seperti ini :

10 ALASAN MENGAPA BANYAK BAND GAGAL


oleh: Jeffrey A. Macak (President, JMI Publications, USA)


1. Mereka tidak memiliki tujuan
2. Mereka tidak memiliki perangkat menuju kesuksesan
3. Mereka tidak memiliki seseorang untuk memandu karier
4. Mereka menunggu untuk ditemukan
5. Mereka kurang berdedikasi
6. Mereka benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan
7. Mereka lebih banyak punya alasan tidak bisa daripada mereka bisa
8. Mereka tidak memiliki komitmen jangka panjang
9. Mereka tidak serius
10. Mereka tidak berbakat sama sekali


Dari 10 alasan di atas semakin membuktikan bahwa selama ini, apa yang telah dilakukan band-band saya terdahulu ternyata salah. Kami terlalu sibuk memikirkan diri sendiri dan mengesampingkan kebutuhan band agar berkembang.

Jadi menurut hemat saya, sebelum anda membangun sebuah band. Pelajari dulu cara mengelolanya. Bagaimana band anda akan survive. Agar kelak band anda bisa terus berkembang.

Selamat Berkarya.

Readmore “10 Alasan Mengapa Banyak Band Gagal”  »»